Bacaan ter-Populer ( yang diminati bro..... )

Sabtu, Februari 21, 2009

Electoral Threshold Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

KabarIndonesia - Persyaratan bagi partai politik agar dapat mengikuti pemilu berikutnya, yakni partai politik harus memenuhi ketentuan electoral threshold yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) atau bergabung dengan partai politik lainnya apabila ketentuan electoral threshold tidak terpenuhi [Pasal 9 ayat (2) UU Pemilu] tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 16/PUU-V/2007 yang diajukan 13 partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, pada Rabu (23/10).

Partai politik tersebut antara lain: Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Pelopor (PP), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Serikat Indonesia (PSI), dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).

Dalam permohonannya, 13 partai politik tersebut menyampaikan bahwa sejarah menunjukan electoral threshold ternyata bertujuan untuk mengeliminasi partai-partai yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya. Proses itu kemudian berkembang di Indonesia menjadi lebih luas lagi, sehingga threshold menjadi bentuk pembatasan untuk mengikuti pemilu berikutnya bagi partai yang telah ikut pemilu dengan tujuan untuk mengurangi jumlah Parpol. Hal ini dianggap sangat merugikan hak kostitusional para Pemohon.

• Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:
ayat (1) : Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga, persen) jumlah kursi DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

ayat (2) : Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa berdasarkan UU Pemilu, partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum. Hal ini berarti eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.

Menurut MK, setidak-tidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan electoral threshold.

Ketentuan tentang electoral threshold sudah dikenal sejak Pemilu 1999 yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diadopsi lagi dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, yang menaikkannya dari 2% (dua persen) menjadi 3% (tiga persen), sehingga, menurut MK, para Pemohon seharusnya sudah sangat memahami sejak dini bahwa ketentuan tentang electoral threshold tersebut memang merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam rangka membangun suatu sistem multipartai sederhana di Indonesia.

Menurut MK, kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan. Dalam hal ini, di antara para Pemohon bahkan ada yang ikut menentukan besaran electoral threshold tersebut, dan secara keseluruhan para Pemohon dengan mengikuti Pemilu 2004 berarti secara sadar sudah menerima adanya ketentuan tentang electoral threshold dalam UU Pemilu.

Terkait dengan banyaknya negara yang menganut parliamentary threshold dan bukan electoral threshold sebagai syarat untuk ikut pemilu berikutnya, bagi MK, hal itu adalah masalah pilihan kebijakan dalam rangka membangun sistem kepartaian dan sistem perwakilan yang kuat dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik melalui cara-cara yang demokratis dan konstitusional.

By : Luthfi Widagdo Eddyono

[www.kabarindonesia.com]
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar